Al-Mîzân Study Club

(Kelompok Kajian Pemikiran dan Dirâsât Islâmiyah)


 

Faktor-Faktor Pembentuk Peradaban*

Oleh Mujahidin Muhayyan

 

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa peradaban adalah hasil akumulasi (perkumpulan) budaya-budaya. Sedangkan yang dimaksud dengan budaya adalah seluruh hasil ‘budi-daya’ manusia, baik yang berupa materi seperti: gedung-gedung, jalan-jalan, bendungan-bendungan, teknologi, dan lain-lain, maupun yang immateri seperti: seni, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral, dan sebagainya.[1] Sebuah peradaban mulai berkembang di saat manusia mampu keluar dari ketakutan dan instabilitas yang melingkupi hidupnya, karena di saat manusia merasa bahwa dia berada dalam waktu dan tempat yang aman, maka seluruh potensi yang dimilikinya akan diarahkan pada usaha untuk memahami hidup dan mengembangkannya. Oleh karena itulah, sebuah suku yang hidup secara berpindah-pindah (nomaden) tidak mampu membangun sebuah peradaban.

Peradaban hanyalah milik manusia, karena makhluk selain manusia tidak memiliki kemampuan untuk membangun sebuah peradaban; setidaknya sampai saat ini kita belum menemukan adanya peradaban selain yang dimiliki oleh manusia. Hanya saja peradaban yang dimiliki oleh satu umat tertentu berbeda—kwalitas dan kwantitasnya—jika dibandingkan dengan peradaban yang dimiliki oleh umat yang lain. Dalam perjalanannya, peradaban-peradaban besar yang dimiliki oleh manusia  mengalami timbul dan tenggelam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu umat ke umat yang lain. Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan adanya lebih dari satu peradaban besar dalam satu masa, seperti pada zaman kita ini.[2]

Tumbuh berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor pembentuk peradaban tersebut. Apabila faktor-faktor ini tersedia dengan baik, sebuah peradaban akan dapat tumbuh dan berkembang. Tapi, apabila faktor-faktor ini tidak lagi tersedia, maka pertumbuhan peradaban tersebut akan terhenti, bahkan bisa jadi punah.

Berikut ini akan kita bicarakan faktor-faktor utama pembentuk peradaban tersebut secara ringkas. 

1. Faktor-faktor geologis

Pertumbuhan peradaban manusia sangat ditentukan oleh kondisi geologis kulit bumi, baik bagian luar maupun bagian dalam. Pada Zaman Es (Glacial Epoch / Ice Age), misalnya, di saat permukaan bumi hanya menyisakan sedikit ruang bagi manusia untuk bergerak, peradaban manusia belum tumbuh. Kesuburan tanah dalam hal ini sangat menentukan tumbuh berkembangnya peradaban. Demikian juga kekayaan yang dikandung oleh perut bagian bumi yang dihuni oleh satu etnis, terutama setelah manusia memiliki cukup kemampuan untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan tersebut. Pergeseran kulit bumi bagian dalam pun juga sangat menentukan hidup matinya sebuah peradaban, karena pergeseran ini apabila terjadi secara drastis cukup untuk menjadi sebab hancurnya sebuah peradaban.

Intinya, perkembangan sebuah peradaban mensyaratkan adanya tanah yang subur untuk lahan pertanian dan atau barang tambang yang dikandung oleh perut bumi, selain juga mensyaratkan amannya daerah tempat peradaban tersebut tumbuh dari bahaya gempa bumi yang melanda sewaktu-waktu.

 2. Faktor-faktor geografis

Yang dimaksud dengan faktor geografis ini mencakup suhu udara, iklim, curah hujan, posisi suatu daerah dari jalur perdagangan dunia, dan lain-lain. Daerah dengan suhu udara yang terlalu panas, atau banyak ditumbuhi parasit, tidak kondusif bagi tumbuh-berkembangnya suatu peradaban. Demikian juga daerah yang tersebar di dalamnya berbagai macam penyakit, karena pada saat itu seluruh kemampuan yang dimiliki oleh penduduknya diarahkan untuk sekedar bertahan hidup dan menjaga keturunan, tanpa tersisa sedikit pun energi untuk mengembangkan bidang pemikiran dan seni.

Curah hujan dalam juga merupakan faktor yang sangat dominan, karena air adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam hidup, bahkan bisa jadi lebih penting dari cahaya matahari sekali pun. Perubahan suhu global yang melanda bumi, yang berimbas pada perubahan curah hujan, sangat berpengaruh bagi hidup-matinya sebuah peradaban. Sebuah peradaban yang dulu berkembang pesat bisa hancur dan punah disebabkan karena langit tak lagi meneteskan air, seperti yang dialami oleh Peradaban Mesopotamia.

Posisi suatu daerah dari peta perdagangan dunia juga sangat berpengaruh bagi maju-mundurnya suatu peradaban. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh laju pertukaran komoditi dari dalam daerah ke luar dan sebaliknya. Sebuah daerah yang terletak pada jalur perdagangan dunia lebih memiliki kesempatan untuk maju bila dibandingkan dengan daerah yang jauh dari jalur perdagangan tersebut. Inilah yang menyebabkan kenapa peradaban-peradaban lama yang kita kenal—seperti Yunani Kuno, Mesir Kuno, Cina Kuno, dan lain-lain—selalu terletak di pesisir dengan pantai yang landai atau di lembah sungai yang memungkinkan berlabuhnya armada-armada dagang.

 3. Faktor-faktor ekonomi

Faktor ekonomi bagi pertumbuhan sebuah peradaban bisa dikatakan lebih penting jika dibandingkan dengan dua faktor yang lebih dahulu disebut. Sebuah suku bisa jadi memiliki institusi sosial yang teratur, undang-undang moral yang tinggi, dan bahkan beberapa bentuk seni sederhana, seperti halnya suku Indian di Amerika. Tapi semua itu cukup bagi mereka untuk mengembangkan peradabannya selama mereka masih bersandar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari berburu dan meramu. Suku Badui yang ada di jazirah Arab, contoh lain, boleh jadi memiliki nilai-nilai moral yang mulia, seperti keberanian, kesetiaan, dan lain-lain. Tapi selama itu hanya digunakan untuk berburu dan berdagang, maka nilai-nilai tersebut tidak akan banyak membantu pertumbuhan peradaban yang mereka miliki.

Tumbuhnya sebuah peradaban mensyaratkan adanya sumber ekonomi yang mapan dan stabil. Oleh karena itulah perkembangan sebuah peradaban selalu di awali dengan berubahnya cara hidup sebuah suku atau etnis dari berpindah-pindah, menuju cara hidup yang metetap. Bentuk yang paling jelas dari apa yang baru saja kita sebut ini adalah perpindahan dari cara hidup berburu menuju cara hidup bertani. Selama manusia masih hidup secara berpindah-pindah, dia tidak akan memiliki banyak waktu untuk mengembangkan bidang pemikiran dan seni. Tapi di saat dia menetap di suatu tempat tertentu, menggantungkan hidupnya dari hasil bertani dan beternak, hal mana dia juga dapat menyimpan sisa-sisa apa yang dihasilkannya untuk kebutuhan di masa mendatang, sehingga dia tidak lagi terancam kelaparan, maka pada saat itulah sebagian dari energi yang dimilikinya akan diarahkan untuk memikirkan tentang hidupnya. Yang terakhir disebut inilah yang membuka jalan bagi manusia untuk belajar hidup secara teratur dan sistematis, sehingga dengan demikian potensi yang dimilikinya tidak hanya digunakan untuk sekedar bertahan hidup, tapi juga berusaha untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Perpindahan cara hidup dari berburu menuju bertani inilah yang kemudian menghasilkan lahirnya budaya desa. Pada proses selanjutnya budaya-budaya yang berasal dari desa-desa itu bertemu pada satu titik, yaitu kota, sehingga terjadilah akumulasi budaya-budaya yang melahirkan peradaban.[3] Inilah kelebihan yang dimiliki oleh kota. Sebuah kota bisa diibaratkan seperti muara tempat bertemunya aliran air dari segala penjuru. Di kotalah seluruh hasil pertanian yang dikeluarkan oleh desa-desa dikumpulkan dan diperjual-belikan. Di kotalah para pedagang dari berbagai perjuru daerah bertemu, bukan hanya sekedar untuk melakukan transaksi dagang, tapi juga untuk berbagi pemikiran. Dari sini akal manusia mulai terasah, sehingga dia dapat mengembangkan ‘kemampuan mencipta’ untuk menghasilkan produk-produk budaya, baik yang berupa materi seperti industri dan lain-lain, maupun yang immateri seperti seni dan lain-lain.

 4. Faktor-faktor immaterial

Tiga faktor yang kita sebut di atas dapat kita kumpulkan menjadi satu ke dalam faktor-faktor material pembentuk peradaban. Faktor-faktor material ini adalah syarat utama berdirinya sebuah peradaban. Hanya saja, tentu saja, faktor-faktor material ini tidak cukup dengan sendirinya untuk membangun sebuah peradaban, karena peradaban bukanlah sesuatu yang terlahir dari kekosongan. Oleh karena itu, lahir dan berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan juga oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor immaterial.

Kebangkitan sebuah peradaban mensyaratkan adanya peraturan-peraturan pemerintahan yang mengatur hubungan antara satu anggota masyarakat dengan lainnya, antara anggota masyarakat dengan negara, dan seterusnya. Peraturan-peraturan ini selalu kita temukan dalam peradaban-peradaban lama, meskipun dalam bentuk yang masih sangat sederhana dan dengan kekuatan sangat lemah, sehingga kehidupan masyarakat pada saat itu lebih dekat pada ketidakteraturan dari pada keteraturan, seperti keadaan Peradaban Romawi pada masa kebangkitan.

Persatuan bahasa juga sangat penting bagi tumbuhnya satu peradaban. Bahasa adalah alat komunikasi langsung antara seseorang dengan lainnya. Lebih jauh lagi, bahasa sebenarnya tak lain adalah bentuk lahir dari kerja otak (baca: berpikir). Oleh karena itulah, persatuan bahasa sangat membantu terlaksananya pertukaran pemikiran dan trasformasi pengetahuan antara satu individu dengan yang lain.

Dibutuhkan juga nilai-nilai moral yang mengikat antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga tercipta dalam kehidupan sebuah aturan yang diakui keberadaannya oleh semua anggota masyarakat. Nilai-nilai moral inilah yang membuat perilaku masyarakat menjadi lebih teratur dan terarah pada satu tujuan yang sama. Dari sini dapat kita lihat pentingnya keyakinan terhadap hal-hal yang berada di balik materi (baca: agama), karena keyakinan ini sangat membantu terbentuknya nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat.

Kemudian, untuk menjamin tetap eksis dan berkembangnya sebuah peradaban, dibutuhkan adanya pendidikan. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah sarana—meskipun dalam peradaban lama bentuknya masih sangat sederhana—yang digunakan untuk melakukan transfer turâts[4] dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dengan demikian apa yang telah didapatkan oleh generasi terdahulu tidak hilang begitu saja, tapi dapat dijaga dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.

Demikianlah, telah kita bicarakan secara ringkas faktor-faktor utama pembentuk peradaban. Tidak tersedianya semua faktor di atas menyebabkan peradaban tidak dapat tumbuh. Bahkan hilangnya salah satu dari faktor di atas bisa jadi cukup untuk menjadi sebab mundurnya, bahkan hancurnya, sebuah peradaban. Secara terperinci dapat dikatakan bahwa hancur atau tidak berkembangnya sebuah peradaban bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain: pergeseran kulit bumi secara besar-besaran; atau perubahan iklim secara drastis; atau wabah yang banyak memakan korban, seperti wabah yang merenggut nyawa separuh dari penduduk Imperium Romawi pada masa Anâthinah[5] dan ‘kematian hitam’[6] yang menghancurkan zaman feodal; atau hilangnya kesuburan tanah; atau hancurnya pertanian yang disebabkan oleh ulah para pendatang, hal mana memaksa penduduk untuk bersandar pada barang-barang impor dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; atau perubahan jalur dagang yang menjauhkan satu suku dari pusat perdagangan internasional; atau kemunduran tradisi berpikir yang disebabkan oleh munculnya paham yang kurang—atau bahkan tidak—menghargai fungsi akal[7] atau tidak berorientasi kemanusiaan[8]; atau dekadensi moral yang menyebabkan masyarakat hidup dalam ketidak-teraturan; atau hancurnya kaedah-kaedah lama yang menjadi dasar terbentuknya aturan-aturan sosial dan ketidak-mampuan untuk menciptakan kaedah-kaedah baru sebagai pengganti; atau hancurnya keturunan karena berkurangnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh tersebarnya filsafat-filsafat yang menyeru pada keputusasaan hidup; atau terpolarisasinya kekayaan pada golongan tertentu yang menyulut timbulnya pertarungan antar kelas; dan lain-lain.

Catatan yang dapat diambil dari apa yang kita bicarakan di atas adalah bahwa peradaban bukanlah milik satu etnis tertentu.[9] Peradaban bisa timbul di satu benua, sebagaimana dia juga bisa lahir di benua yang lain. Peradaban bisa dihasilkan oleh etnis yang memiliki warna kulit tertentu, sebagaima dia juga dihasilkan oleh etnis dengan warna kulit yang lain. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban-peradaban lama berkembang di Peking, Delhi, Memphis, Babilonia, Mesir dan lain-lain. Bukanlah ‘bangsa yang besar’ yang melahirkan peradaban yang besar, tapi justru peradabanlah yang membentuk masyarakat suatu bangsa. Lahir dan berkembangnya suatu peradaban di suatu tempat sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor-faktor di atas. Artinya, apabila faktor-faktor di atas dimiliki oleh satu masyarakat tertentu, maka terbuka peluang bagi masyarakat tersebut untuk membangun peradaban yang tinggi, sama saja apakah mereka berkulit hitam, putih atau kuning, dan sama saja apakah mereka itu keturunan Eropa, Afrika atau Asia.

Catatan lain yang juga dapat kita ambil adalah bawah peradaban-peradaban yang dimiliki oleh manusia sepanjang sejarah satu sama lain adalah saling berkaitan dan bersambung.[10] Tidak ada satu peradaban pun mampu berdiri sendiri tanpa mengambil khasanah yang dimiliki oleh peradaban lain—baik sebelumnya maupun semasanya—melalui proses belajar dan transformasi pengetahuan. Sehingga wajar kalau dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada peradaban yang sama sekali hancur dan mati, karena meskipun satu peradaban telah berakhir masa hidupnya, tapi sisa-sisa khasanah yang dimiliki oleh peradaban tersebut masih dapat ditemukan pada peradaban lain yang masih eksis. WalLâhu a‘lam. (Mujâhidîn Muhayyân)

 

Sumber Catatan Kaki:

Dahyal Afkar, Wacana Otentisitas dan Modernitas: Upaya Revitalisasi Turats Budaya, makalah Bedah Buku KSW, Wisma Nusantara, Kairo, 19 Februari 2001.

Dra. Yumnâ Tharîf al Khűly, Al Thabî‘iyyât Fî‘Ilmi’l Kalâm, Dâru’l Qubâ’, Kairo, 1998.

Esai-esai Ke Arah Filsafat Ilmu Islam, Mîzân Study Club, Kairo, 2002.

Nashr Hâmid Abű Zaid, Naqdu’l Khithâb al-Dînî, cet. III, Maktabah Madbűlî, Kairo, 1995.

Saiful Bahri MH Rusydi, Peradaban Umat Eksklusif atau Inklusif, makalah Bedah Buku KSW, Wisma Nusantara, Kairo, 19 Februari 2001.

Samuel P. Huntington, Shadâmu’l Hadlârah: I‘âdatu Shun‘i al-Nidzâm al-‘Âlamî, terjemah Thal‘at Al-Syâyib, cet. III, Syarikat al-Suthűr, Kairo, 1999.

Steven Kreis, What is Civilization?, dalam The History Guide, alamat situs tidak diketahui, terakhir direvisi 10 Januari 2002.

Will Durrant, Qishshsatu’l Hadlârah, jilid 1/2, terjemah Zakî Najîb Mahműd dan Muhammad Badrân, Maktabatu’l Usrah, Kairo, 2001.

Yusűf Al-Qarâdlâwî, Tsaqâfatunâ Baina al-Infitâh wa al-Inghilâq, cet. I, Dâru al-Syurűq, Kairo, 2000.

 


* Makalah ini ditulis berdasarkan bab I jilid I buku Qishshatu’l Hadlârah karya Will Durrant dengan berbagai modifikasi, sebagai pengantar dalam diskusi seputar ‘peradaban’, Al-Madani Kesatuan Pelajar Angkatan Depag Periode 2001-2002, Wisma Nusantara, Ahad, 10 Februari 2002.

[1] Ada perbedaan pendapat berkenaan dengan definisi kata ‘peradaban’ (civilization / hadlârah / madaniyah) dan berkenaan dengan apakah ‘peradaban’ itu sama atau berbeda dengan ‘budaya’ (culture / tsaqâfah). Will Durrant sendiri dalam Qishshatu’l Hadlârah mendefinisikan peradaban dengan ‘aturan sosial yang membantu manusia dalam menghasilkan produk-produk budaya’. Sedangkan menurut Steven Kreis peradaban adalah ‘satu bentuk budaya manusia, hal mana sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu pusat urban telah menguasai ketrampilan melebur baja dan telah mengembangkan metode menulis’. Amat sulit memang untuk membuat batasan peradaban, sampai-sampai Kreis mengakui bahwa ‘peradaban adalah satu kata yang lebih mudah untuk dijelaskan dari pada didefinisikan’.

Selanjutnya berhubungan dengan perbedaan antara peradaban dan budaya, Yűsuf Al-Qaradlâwî, dalam bukunya Tsaqâfatunâ Bainâ al-Infitâh wa-Inghilâq, tidak memberi batasan antara keduanya. Hadlârah dan tsaqâfah menurut Qaradlâwî memiliki arti yang sama, walaupun penggunaannya dalam kalimat kadang berbeda. Sedangkan menurut Husain Mu’nis, dalam Al-Hadlârah: Dirâsâ fî Ushűli wa ‘Awâmil Qiyâmihâ wa Tathawurihâ, budaya adalah sesuatu yang akan terus mengalami evolusi (perubahan secara perlahan), berbeda dengan peradaban yang tidak mengalami evolusi. Ibnu Khaldun, sosiolog muslim pertama, dalam Muqaddimah-nya juga membedakan antara budaya dan peradaban. Menurutnya, budaya adalah cara hidup (weltanschaung suatu bangsa terhadap dirinya dan semesta) yang terus berproses, sedangkan peradaban adalah puncak tangga pencapaian budaya (suatu periode di saat perkembangan sosial terhenti). Oleh karena itulah, menurut Ibnu Khaldun, apabila suatu umat sudah mencapai titik peradaban, maka tidak ada yang bisa ditunggu selain kehancurannya. Sedangkan ‘Ali Syariati dalam Culture and Ideologi beranggapan bahwa budaya secara definitif adalah kekayaan material dan spiritual suatu ras dan bangsa, sedangkan peradaban adalah akumulasi material dan spiritual manusia secara keseluruhan. Peradaban adalah milik manusia secara keseluruhan, sedangkan budaya adalah khas milik etnis tertentu. Oleh karena itulah, budaya bersifat membedakan satu etnik dari etnik lainnya, sementara peradaban bersifat menyatukan.   

 

[2] Samuel P. Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, membagi peradaban manusia saat ini ke dalam dua bagian besar: Peradaban Barat dan Peradaban Non-Barat yang di dalamnya tercakup Peradaban Arab Islam, Peradaban Jepang, Peradaban Cina, dan lain-lain. Peradaban-peradaban Non-Barat ini disebut oleh Huntington sebagai ‘sisa’ atau ‘yang lain’. Huntington menolak anggapan bahwa Peradaban Barat adalah peradaban yang universal. Oleh karena itulah dia membedakan antara ‘westernisasi’ dan ‘modernisasi’.  Modernisasi adalah sesuatu yang mana peradaban-peradaban lain bisa ikut serta bersama Barat, meskipun Barat adalah lahan asli tempat tumbuhnya modernisasi tersebut sejak abad XVIII dan XIX. Berbeda dengan westernisasi, hal mana Huntington mengatakan bahwa ‘Barat (al-gharb) adalah barat (al-gharbî) sebelum terjadi modernisasi, sejak masa lampau’. Namun meskipun Peradaban Barat bukanlah peradaban yang universal, menurut Huntington, Peradaban Barat memiliki karakteristik yang membedakannya dari peradaban-peradaban lain. Karakteristik yang menurut Huntington sudah dimiliki oleh Barat sejak sebelum adanya modernisasi ini adalah: turâts klasik yang diwarisi dari Yunani dan Romawi; agama Kristen Barat yang mencakup Katolik dan Protestan, sementara Ortodok tidak termasuk di dalamnya; bahasa-bahasa Eropa; hukum perundang-undangan; pluralitas (kemajemukan) masyarakat dan masyarakat madani; badan perwakilan; dan kecondongan individu.

Apa yang dilakukan oleh Huntington di atas mirip dengan apa yang dilakukan oleh ulama muslim, tapi dari pihak yang berbeda. Hanya saja, di saat menjelaskan karakteristik Peradaban Islam, ulama muslim selalu memasukkan ciri universalitas (‘âlamiyah). Sedangkan karakteristik-karakteristik lain yang dimiliki oleh Peradaban Islam, menurut Yűsuf Al-Qaradlâwî, adalah rabbâniyah (ketuhanan), akhlâqiyah (moralis), insâniyah (kemanusiaan), tasâmuh (toleransi), wasathiyah (moderat), i‘tizâz bi al-dzât (memiliki identitas yang jelas).  

[3] Yang menarik untuk diamati berkaitan dengan hubungan antara cara hidup bertani dengan perkembangan peradaban adalah hubungan antara akar dalam bahasa Inggris dari kata ‘bertani’ (agriculture) dan kata budaya (culture). Hubungan ini menunjukkan bahwa memang budaya mulai tumbuh sejak manusia mulai hidup dengan cara bertani. Selanjutnya, sebagaimana lahirnya budaya di desa-desa, lahirnya peradaban di kota pun bisa diamati dari hubungan akar kata ‘peradaban’ dan ‘kota’, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab hubungan tersebut tampak begitu jelas, hal mana kata ‘madînah’ diterjemahkan sebagai ‘kota’, dan kata ‘madaniyah’ diterjemahkan sebagai ‘peradaban’, meskipun dikenal juga kata ‘hadlârah’ yang juga berarti ‘peradaban’. Sementara dalam bahasa Inggris, hubungan tersebut juga sangat erat, meskipun membutuhkan sedikit penjelasan. Kata ‘peradaban’ dalam bahasa Inggris disebut ‘civilization’, yang memiliki akar derivasi yang sama dengan kata ‘civility’ yang berarti ‘interaksi yang lembut’ yang dimiliki oleh masyarakat kota.

[4] Yang dimaksud dengan turâts di sini adalah semua kekayaan immateri yang dimiliki oleh satu masyarakat, seperti: ilmu, seni, akhlak, agama, dan lain-lain.

[5] Jamak dari Anthűn.

[6] Al-maut al-aswad, dalam bahasa Arab, yaitu epidemi (wabah) yang menimpa Eropa pada abad XIV.

[7] Berkaitan dengan masalah ini, meskipun pada dasarnya ajaran Islam sangat menghargai akal, tapi menurut Nashr Hâmid Abű Zaid, pemikiran agama—terutama yang resmi—yang ada pada masa sekarang banyak yang mengarah pada pengaborsian fungsi akal. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan kemunduran Peradaban Islam, jika dibandingkan dengan peradaban lain. Di antara pemikiran agama yang dimaksud oleh Nashr di atas adalah ‘asas yang mengembalikan semua fenomena yang terjadi di alam ini kepada satu ‘sebab’ yaitu Allah’. Menurutnya, menjadikan Allah sebagai satu-satunya pelaku utama atas apa yang terjadi di semesta ini sama saja dengan menafikan adanya hukum sebab dan akibat yang ditetapkan sendiri oleh Allah, dan pada akhirnya menafikan keberadaan manusia sendiri; karena selama segala sesuatu harus dikembalikan pada Allah, maka tidak ada gunanya bagi manusia untuk berpikir dan bekerja. Selain itu, menurut Nashr, terlalu bersandar pada turâts dan salaf juga bisa menyebabkan kita kehilangan daya kreasi yang dimiliki oleh akal. Turâts yang dimiliki oleh salaf tak lain adalah juga pemikiran agama yang tidak hanya mungkin untuk dikritisi sebelum diterima, tapi juga mungkin untuk ditolak. Hal ini disebabkan karena kondisi yang menjadi syarat lahirnya pemikiran-pemikiran salaf tersebut bisa jadi berbeda dengan kondisi yang kita miliki saat ini, sehingga tidak selamanya sesuatu yang cocok bagi mereka cocok juga bagi kita. Oleh karena itulah turâts dan salaf tidak boleh disakralkan seperti sakralnya Al-Qur ‘an dan Al-Hadits, karena yang demikian ini akan membuat akal kehilangan daya ciptanya.

[8] Teologi Islam lama, menurut Yumnâ Tharîf Al-Khűlî, adalah termasuk teologi yang kehilangan dimensi kemanusiaan, karena hanya digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sehingga terjebak dalam lingkaran tertutup ‘dari Tuhan menuju alam dan kembali ke Tuhan lagi’. Teologi semacam ini tidak kondusif bagi berkembangnya ilmu pengetahuan yang merupakan pilar utama peradaban. Inilah sebabnya kenapa ilmu pengetahuan yang pada abad pertengahan mulai tumbuh di bawah naungan Peradaban Islam terhenti secara perlahan, dan justru berpindah ke Barat yang menyediakan lahan yang sangat subur setelah para penyeru pembaharuan berhasil melepaskan diri dari kekangan gereja. Oleh karena itu, menurut Yumnâ, umat Islam membutuhkan teologi baru yang lebih berdimensi kemanusiaan. Dalam hal ini Yumnâ meminjam teori rupture (keterputusan) milik Bachleard. Rupture di sini tidak berarti sama sekali meninggalkan teologi lama, tapi melakukan dialektika antara keterputusan dan ketersambungan terhadap teologi lama, sehingga tercipta teologi baru yang mampu menjawab fenomena kekinian tanpa tercerabut dari akarnya. Teologi baru haruslah mampu keluar dari lingkaran tertutup di atas dengan merubah orientasinya menjadi ‘dari Tuhan menuju alam’, sehingga teologi ini tidak lagi digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tapi digunakan sebagai dasar untuk memahami alam. Dengan teologi baru inilah, menurut Yumnâ, ilmu pengetahuan akan dapat kembali berkembang dalam Peradaban Islam.

[9] Selama ini orang-orang Barat beranggapan bahwa hanya merekalah yang memiliki peradaban. Dalam penulisan sejarah peradaban, misalnya, para sejarawan Barat selalu memulai dari Yunani dan Romawi, dengan melupakan peradaban-peradaban lain yang pernah ada di dunia ini sebelum dua peradaban tersebut. Padahal kalau mereka mau jujur, peradaban Yunani dan Romawi tidak akan pernah ada tanpa ada peradaban-peradaban yang berkembang sebelumnya di Timur Dekat dan Timur Jauh. Klaim sepihak oleh Barat ini, selain menyebabkan manipulasi sejarah, juga mereka jadikan justifikasi untuk menjajah dunia Timur. Menurut mereka Timur adalah dunia yang bodoh, tak mampu mendefinisikan dirinya sendiri, tak berperadaban, oleh karena itu Barat punya kewajiban untuk menjadikan mereka beradab (civilized). Dalam ungkapan Marx: ‘They can’t represent themselves, they must be represented.’ Akibat fatal dari semua itu misalnya adalah pemusnahan suku Aborigin, Aztec, Inca dan Indian, serta penjajahan dunia Timur pada umumnya.

[10] Ketersambungan di sini tidak dipahami bahwa peradaban yang lahir belakangan hanya menjadi penerus peradaban sebelumnya, tanpa melakukan perubahan paradigma, seperti yang dijelaskan oleh Thomas Kuhn. Menurut Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan bersifat vertikal, meskipun diakui juga bahwa perkembangan unsur lain dari peradaban, seperti seni, bersifat horisontal. Ilmu pengetahuan berkembang secara vertikal artinya berkembang menuju tingkat yang lebih tinggi. Dalam perjalanannya temuan-temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan tidak hanya diletakkan di sebelah temuan-temuan lama dalam paradigma yang sama, tapi juga terjadi akumulasi sehingga melahirkan paradigma yang sama sekali berbeda dari paradigma yang digunakan sebelumnya. Contohnya, kajian terhadap alam. Sebelum Copernicur (atau Ibnu Syâthir menurut versi Islam) masil didasarkan pada geosentris (teori yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat peredaran tata surya), tapi setelah masa Copernicus paradigma ini dihancurkan dan diganti dengan paradigma baru, yaitu heliosentris (teori yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat peredaran tata surya). Teori perubahan paradigma ini tidak bermaksud untuk menafikan apa yang pernah ditemukan oleh para pendahulu, tapi untuk menunjukkan bahwa akumulasi ilmu pengetahuan tidak hanya menghasilkan deretan ilmu pengetahuan, tapi juga menghasilkan paradigma baru di mana ilmu pengetahuan didirikan di atasnya. Tampaknya, teori perubahan paradigma Kuhn ini hampir sama dengan La Rupture Epistemologique milik G. Bachleard.

 

"Berdimanika dan Berkarya untuk Pemikiran Islam Melayu"